Rabu, 01 Februari 2012

CERPEN :D


Berkat Sahabat

            Namaku adalah Sharena Priscilia biasa dipanggil Rena Aku salah satu siswi dari suatu SMP ternama di Bandung. Banyak teman-teman yang menganggap, kalau aku itu gadis yang pendiam. Aku bangga dengan beberapa prestasiku dibidang akademik maupun non akademik. Tetapi aku tidak suka ketika aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru.  Dalam hal pertemanan aku memang agak sulit untuk  menjalin hubungan dengan teman-temanku. Hanya buku diary lah yang selalu menemaniku di saat aku senang maupun sedih. Salah satunya di saat aku teringat akan teman-temanku yang tak mempedulikan aku sedikit pun. Aku sedih, mengapa tak ada yang mau berteman denganku. Mereka mau berteman denganku ketika dalam hal-hal tertentu saja, Seperti jika ada ulangan ataupun ujian. Sebenarnya dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak mau melakukan hal seperti itu. Tapi bagaimana lagi, hanya itu satu-satunya cara agar aku punya teman.


            Pertama kali aku bertemu dengannya, dia sangat ramah kepadaku. Kejadian ini merupakan keajaiban dalam hidupku, karena selama ini teman-temanku selalu tak memperdulikan aku. Dia adalah Dina Aprilia Putri atau biasa dipanggil Dina. Dia murid pindahan dari SMP di Cibubur. Dina memilih duduk sebangku denganku. Dia selalu mengajakku bicara, bahkan ia tak pernah berhenti melontarkan berbagai pertanyaan untukku. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuatku merasa senang, karena aku bisa berbagi dan dia pun berbagi. Berbagi dalam berbagai hal. Dina menceritakan semua tentang kehidupannya selama ini kepadaku. Sebaliknya, Dina juga menanyakan tentang kehidupanku. Dari situlah sedikit demi sedikit aku dapat menghilangkan sifat “pendiam” ku yang selama ini sangat sulit untuk dihilangkan. Selain ramah, Dina juga murid yang pintar, sopan, ramah, mudah bergaul, dan aktif dalam organisasi sekolah. Dia pintar dalam semua mata pelajaran, jadi saat ulangan dia tidak pernah menyontek jawabanku. Tidak seperti teman-temanku yang lain, yang selalu memanfaatkan kelebihanku. Selain itu, Dina juga familiar di lingkungan sekolah, karena keramahannya dengan semua orang. Sungguh, aku sangat mengagumi kepribadiannya. Sejak kemarin Dina menjadi sahabat sejatiku.


            Suatu hari, dia mendapat tugas dari organisasi kesiswaan, untuk mewawancari anak-anak jalanan. Hari itu juga kita langsung melakukan penelitian di bawah kolong jembatan. Kita segera menghampiri mereka. Rupanya mereka sedang menghitung uang hasil ngamen dan jualan koran. Meskipun hasil uangnya pas-pasan, mereka tetap semangat dan pantang menyerah demi mendapatkan uang untuk makan dan meringankan beban orangtuanya. “Lihat, Din ada anak kecil yang baru berumur sekitar 7-10 tahun sudah mengamen di jalanan. Padahalkan jam-jam segini mereka harusnya masih bersekolah,” ucapku dengan heran. “Iya, ya….kasihan banget mereka. Demi membantu keluargannya dan untuk makan, mereka harus bekerja keras. Kita harus bersyukur karena kita udah di beri makanan yang melimpah”, tambah Dina.


Aku dan Dina pun langsung menghampiri mereka. Kita mewawancari seorang anak yang tampak ceria dan kita pun mulai bertanya.





            “ Halo dik, namanya siapa ?” sapa Dina.


            “ Emm namaku Reza kak”, jawab anak jalanan itu yang kelihatan sangat gugup.


            “ Tenang aja dik, kita nggak akan melakukan kejahatan kok. Kita cuman melakukan          tugas yang di berikan dari sekolah. Kakak boleh tau nggak tentang kehidupanmu             selama ini ?” ucap Dina ramah.


            “ Oke kak…!”ucap anak itu dengan senang.


            “ Rena tolong rekam semuanya ya…” perintah Dina kepadaku.


            “ Siap …!! Satu…dua…tiga,…mulai…!!” ucapku sambil menekan tombol start pada         recorder.


“ Namaku Reza, aku udah enggak punya orangtua. Selama ini aku hanya tinggal bersama tanteku, yang rumahnya di dekat Sungai Kincir. Aku mulai mengamen dari kecil. Biasanya aku mangkalnya di lampu merah, aku mulai mengamen dari jam lima pagi sampai jam satengah tujuh malam.” ucap Reza dengan tegas.


            “ Biasanya sehari kamu dapat berapa, Dik ? Apa kamu enggak sekolah ?” tanya Dina         penasaran.


            “ Emm biasanya sih cuman dapet sembilan ribu sampai lima belasan ribu. Aku dari             kecil nggak pernah sekolah kak, karena nggak ada uang untuk bayarnya.” ungkap         Reza sambil memainkan senar gitar kecilnya.


            “ Apa kamu pingin sekolah ?” tanyaku.


            “ Sebenarnya pingin sekali kak, tapi ya gimana lagi buat makan aja susah apalagi buat        sekolah.” ujar Reza dengan polos.


“Eh iya kamu tadi kan bilang kalau kamu tinggalnya sama tantemu. Lha memangnya orang tua kamu ke mana ?” tanyaku keheranan.


“Ibu saya sudah meninggal kak, dan bapak saya pergi entah kemana.” jawabnya     sedikit             pelan.


“Oh..begitu ya.. Ibu kamu meninggal sudah berapa tahun yang lalu ?”


“Ibuku terkena penyakit kanker, sudah sekitar 3 tahun yang lalu,” ungkap Reza      dengan mata berkaca-kaca.


“Jangan nangis Dik, kita harus sabar dan ikhlas menerimanya”. ucapku sedikit        menenangkan Reza.


“O, iya kamu nggak mau bertemu atau mencari ayahmu ?” sambungku lagi.


“Enggak kak, aku nggak mau bertemu lagi sama bapak.”


“Lhoh emangnya kenapa, Dik ?”


            “Kalau tinggal sama bapak aku cuman di bentak-bentak dan disiksa, kak. Eh, iya   kakak   kenal sama Pak Presiden nggak ? Kalau bertemu, tolong bilangin sama beliau           kalau untuk orang yang enggak mampu suruh bantu supaya bisa sekolah tanpa biaya            dan agar aku bisa meraih cita-citaku”


            “Iya Reza…mudah mudahan kita bisa bertemu dengan Pak Presiden secepat-         cepatnya.” jawabku dengan tersenyum.





******





            Pagi harinya Dina datang ke rumahku. Aku membantunya untuk menyusun laporan wawancara anak jalan kemarin. Kulihat Dina sedang duduk termenung di dekat jendela rumahku. Ia memegang recorder yang digunakan kemarin dan mendengarkannya dengan serius. Kemudian, aku mendekat dengan membawa dua gelas teh yang masih hangat dan sepiring kue yang sudah dipotong-potong. “Kamu kenapa Dina, kok kelihatannya sedih sekali.” kataku mengagetkan Dina. “Oh…ini aku merasa kasihan sekali dengan mereka. Aku ingin membantu mereka.. Aku ingin…” jawab Dina dengan meneteskan air mata.





******





            Satu bulan kemudian, Dina harus dihadapkan dengan kenyataan pahit yang benar-benar mengguncang mental dan jiwanya. Sebuah pengakuan dari ibunya bahwa kini ibunya telah jatuh cinta pada pria lain. Dan ibunya sudah tak sanggup lagi hidup bersama ayah Dina yang selalu sibuk bekerja dan jarang pulang ke rumah. Hal ini membuat pertengkaran berlarut-larut antara kedua orang tua Dina. Ayah Dina merasa sangat murka, terluka dan terkhianati. Dan ibu Dina pun rupanya sudah siap dengan segala risiko dari sebuah pilihan yang menikam banyak pihak, terutama Dina. Mereka memutuskan untuk bercerai. Ibu Dina telah menemukan dunianya, dunia baru dengan suami baru dan segala kontroversi.


            Dina sangat terpukul. Ia tak menyangka kebahagian itu kini hancur. Kenangan masa kecil yang indah, sosok ibu yang selalu membimbingnya, pergi demi laki-laki lain. Orang tuanya bercerai. Ia tertekan.


            Dina memilih tinggal bersama ayahnya. Ia lebih memilih untuk menemani ayahnya yang terluka. Sejak saat itu ayah Dina berubah. Ayah Dina menjadi lebih pendiam dan tertutup. Ayah Dina bekerja semakin keras. Ayah Dina semakin jarang pulang ke rumah. Mungkin itu bagian dari pelampiasan untuk melupakan luka yang terlanjur meradang dan tak bisa terobati. Dina selalu murung, memikirkan keluarganya yang kacau balau. Aku tak lagi melihat sosok Dina yang aktif dan ceria. Aku tak lagi melihat Dina yang selalu tersenyum. Sahabat, kembalilah…..aku mau kamu yang dulu.





******


            Kondisi kesehatan ayah Dina semakin lama semakin menurun. Ayah Dina mengidap penyakit pada paru-parunya. Mungkin ini peringatan untuk ayah Dina yang beberapa bulan terakhir bekerja membabi buta hingga tak peduli pada kesehatan.


            Demi alasan kesehatan, keluarga Dina menyarankan untuk mengajak Dina dan ayahnya pindah ke Bandung, di  daerah puncak. Udara di sana sangat bersih dan cocok untuk ayahnya yang sedang sakit.


            Takdir menuliskan sebuah perpisahan.





******





            Pagi itu aku datang ke rumah Dina. Rupanya semua benda sudah diboyong ke Bandung. Dina yang akan memasuki mobil tiba-tiba melihatku, ia berjalan dan tersenyum ke arahku.


            “Ini waktunya, Ren… Maaf ya, aku harus pergi. Makasih ya telah menemaniku di setiap waktu, kamu memang sahabat terbaikku. Aku enggak bakal lupain kamu. Kamu jangan nangis dooong. Aku pasti kembali, aku bakal kembali dengan sebuah perubahan yang besar…” Aku tertegun. Jiwaku bergejolak, berat rasanya untuk berkata sepatah saja.


            Dina memelukku, kemudian ia pergi sambil melambaikan tangan dari dalam mobil. Semakin lama ia semakin jauh, dan ketika bayangannya sudah tak tampak aku masih terdiam. Aku merasakan ada yang hilang. Tak lama aku sadar, aku beranjak dan masih membisu. Aku tahu semua telah terjadi. Waktu dan takdir berhasil bersengkongkol menculik sahabat terbaikku.





******





            Aku menjalani hari-hari tanpa Dina. Ternyata, secara perlahan dan tak langsung ia telah menyihirku. Aku berubah, tak sependiam dulu. Aku banyak belajar dari Dina. Dina mengajariku bergaul dan bersosialisasi. Terkadang kala aku melihat beberapa anak jalanan di lampu merah aku teringat Reza, dan jika teringat Reza aku pasti teringat Dina. Dina sangat terobsesi untuk mewujudkan mimpi anak jalanan itu. Hingga kini, Dina tak pernah memberiku kabar. Sudah lama aku SMS dia tapi nggak ada balasan. Aku coba nelfon, tapi mailbox mulu… Mungkin Dina sudah ganti nomor. Aku kehilangan kontak dengannya selama delapan bulan.


            Siang hari, di hari Minggu. Ada sebuah SMS masuk ke handphone-ku. Nomor tak dikenal.


            “Segera temui aku di Kafe Pelangi hari ini, jam 4 sore. Aku sangat mengharapkan kehadiranmu. Dina Aprilia P.’’


Aku terkejut bercampur senang. Akhirnya ia kembali. Aku segera menemuinya di kafe pelangi. Ia duduk di tempat biasa, di dekat jendela. Dina terlihat semakin sehat. Rambutnya semakin panjang. Ia mengenakan kemeja merah kesayangannya. Ia tersenyum. Dan sangat jelas ia bahagia. Ia datang membawa kabar gembira. Ayahnya sudah kembali sehat. Ia senang tinggal di Bandung. Dan Dina benar, ia benar-benar kembali dengan sebuah perubahan.


            “Eh, Dina, gimana kabarnya ?” tanyaku sambil bersalaman.


            “Baik, Ren.. Gimana denganmu ?” jawab Dina sembari tersenyum.


            “Aku juga baik-baik saja, apakah udah ada perubahan ?”  tanyaku lagi.


            “Udah doong ,, kan aku selalu menepati janji..” ucap Dina meyakinkan diri.


            “Yaa, trus critain ke aku dong..” ucapku sudah nggak sabar lagi.


“Berkat usaha Ayah dan keluargaku, aku berhasil membuka Rumah Singgah untuk anak jalanan. Kurang lebih 130 anak jalanan terdaftar sebagai anggota di rumah singgah itu, luar biasa bukan ? Aku senang membantu mereka. Oh iya, Reza juga ikut menjadi anggota Rumah Singgah kami. Dan, sekarang ia sudah mulai bisa menulis dan  membaca…begitu pula anak jalanan lainnya. Dalam waktu lima bulan mereka sudah mulai bisa membaca. Semangat mereka luar biasa. Aku senang. Oh, iya berkat bantuan Om-ku, rumah singgah ini ada di bawah naungan Komnas Pelindungan Anak lhooo….” ucap Dina penuh semangat. “Wah hebat kamu, Din… Aku salut sama kamu,” ucapku kagum.


            “Oh iya, ada satu hal lagi. Minggu depan kamu harus datang ke acaraku dan anak-anak jalanan lainnya. Kami diundang makan malam bersama di acara Komnas Perlindungan Anak dan tahu enggak sih, Pak Presiden bakal datang ke acara itu lho….”cerita Dina penuh harap.


“So pasti dong… Aku pasti datang. Aku bangga kamu berhasil mewujudkan mimpi salah satu dari antara mereka…”


“Mimpi ? Mimpi apa Ren ?” Dina bingung.


“Reza akan berkata pada Pak Presiden bahwa ia sudah bisa membaca dan ingin meraih cita-citanya…”


“Hehe… Iya ,, Itu semua berkat bantuan kamu juga.” jawab Dina sembari tersenyum.








☺☺☺☺☺



Jumat, 20 Mei 2011

Helmmmmmm....................

Kamis, 19 Mei 2011

Sepeda Fixi

Sungguh berita yang bermanfaat “Sepeda Fixie-Sepeda Gaul Anak Muda Masa Kini”, ketika membaca artikel ini ada pengetahuan yang saya dapatkan. Silahkan lanjutkan membaca Sepeda Fixie-Sepeda Gaul Anak Muda Masa Kini.

Sepeda Fixie identik dengan gaya minimalis, murah dan tidak ribet. Sepeda Fixie tidak memiliki rem, pedal terus berputar selama roda mengelinding. Itulah sepeda yang sedang tren dikalangan muda sampai pekerja. Mengunakan sepeda tidak hanya sebagai alat transportasi, tetapi untuk gaya hidup. Membangun sepeda Fixie boleh dibilang gampang gampang susah, urusan komponen begitu banyak dan sebagian bisa dikombinasikan dengan komponen sepeda balap. Hanya sepeda Fixie lebih sederhana, ibarat kalangan muda dengan gaya tersendiri sehingga bisa membuat sepeda sesuka hati.
Apakah ciri dari sepeda Fixie?
Sepeda Fixie identik dengan sepeda tanpa rem, tanpa gear dinamis belakang. Semua dibuat fix, roda berputar maka pedal ikut berputar. Mengerem sepeda Fixie hanya mengandalkan kekuatan pedal dengan menahan laju atau mendorong pedal ke belakang serta dibantu dari roda depan.
Ban sepeda Fixie juga tipis, sehingga ringan ketika di genjot. dan yang lain menarik pada bagian stang. Dimana stang atau handlebar sepeda Fixie dibuat dengan tegak lurus. Minimalis disain menjadi ciri sepeda single speed ini.
Bagaimana memiliki, membangun atau membuat sepeda Fixie?
Ada 2 pilihan : 1.Beli jadi,
menghemat waktu dan tenaga, harga tergantung hati dan budget. Pilihan ini baik untuk mereka yang belum memiliki rangka sepeda atau tidak mau repot. Harga relatif lebih mahal, dan komponen umumnya lebih bermutu.
Harga sepeda Fixie untuk minimum dengan komponen seadanya dapat mencapai 1.5 juta. Harga sepeda Fixie yang cukup lumayan sekitar 2.5 juta atau lebih. Sedangkan harga sepeda Fixie rakitan tipe generic dengan komponen cukup baik mencapai 3.5 juta keatas. Tipe sepeda fixie bermerek umumnya berada di atas 4 juta, tergantung komponen yang sedang in.
2. Merakit atau modifikasi dari sepeda bekas.
Yang ini lebih repot, tetapi ketika jadi akan memenuhi hati pemiliknya. Beli dari rangka kosong sudah banyak dijual, atau bisa memilih rangka polos dan di cat sendiri.
Bisa juga mengunakan frame sepeda balap lama. Komponen dari roda dilepas dan diganti dengan komponen sepeda Fixie yang simpel. Untuk ukuran frame sepeda balap tua umumnya masih bisa dipakai, rata rata sepeda Fixie dirancang untuk ban 700C. Jadi bisa saja sepeda jenis road bike lama memasukan hub jenis 700c yang lebih kecil. Ingin meninggalkan sejarah pada sepeda, boleh juga mempertahankan bagian stang road bike. Sisanya boleh di modifikasi.
Apa keunikan dari sepeda Fixie ?
Ini gaya sepeda anda, masalah warna mengikuti selera. Komponen sepeda Fixie tahun ini sudah sangat banyak dan murah. Mau menganti ban dengan warna merah juga boleh, atau kuning susu juga ada, atau membuat sepeda dengan warna putih semuanya juga bisa.
Urusan frame, bila membeli frame jenis rakitan lebih seru. Beli frame polos lalu di cat sesuka hati pemiliknya.
Velg atau Rim Fixie, memiliki beraneka model walaupun bentuknya sama bundar tetapi ada beberapa velg dibuat lebih tebal. Warnanya dari hitam dan putih sudah banyak dipasaran.
Urusan Stang sepeda Fixie juga unik. Dibuat lebih pendek sehingga bisa menyelinap diantara kemacetan kendaraan. Ingin mempertahankan stang atau handlebar sepeda lama juga boleh.
Yang paling asik dengan sepeda Fixie, sepeda ini bisa maju mundur sesuka hati. Digenjot bisa maju atau digenjot kebelakang maka sepeda akan mundur. Maklum sepeda ini umumnya mengunakan gigi belakang tipe fix gear atau gear tetap.
Yang pasti , karena mengikuti gaya minimalis. Sepeda Fixie memang ringan. Rata rata beratnya tidak lebih dari 11kg, bahkan ada yang jauh lebih ringan.